Wednesday, March 9, 2011

Sayap Putihku


Sedikit tulisan yang muncul di tengah kedai kopi.
_________________________________________________________________________________

Aku mempunyai sayap yang indah, indah sekali. Warnanya putih, bak salju kata beberapa ilmuwan asing yang pernah datang meneliti diriku. Aku hanya percaya saja, aku tak tahu salju seperti apa. Beberapa sastrawan yang juga mendatangiku mengatakan sayapku halus, sehalus helaian rambut bayi yang baru lahir. Sekali lagi aku tak tahu sehalus apa rambut bayi yang baru lahir. Sepanjang hidup aku merasa sayap ini adalah kutukanku. Benda yang ingin aku hilangkan, agar aku bisa keluar dari sangkar emas yang mengelilingiku.

Aku ingat, saat aku kecil sayap itu hanya sebuah tonjolan kecil di punggung. Tonjolan yang tak membahayakan ucap dokter saat diperiksa. Tonjolan yang semakin lama semakin besar dan akhirnya keluarlah bulu-bulu kecil dari tonjolan itu. Orang tuaku panik saat pertama kali aku menunjukkan bulu putih di tonjolanku. Mereka membawaku kembali ke dokter. Dokter pertama menggelengkan kepalanya penuh bingung atas fenomena ini. dokter ke dua melakukan berbagai tes pada diriku, dokter ke tiga membuat disertasinya berdasarkan diriku. Karena dokter ke tiga inilah aku menjadi mahluk teraneh di dunia.

Aku berusia 13 tahun ketika ilmuwan dari Amerika datang dengan tujuan untuk meneliti diriku. Seiring dengan ilmuwan Amerika tersebut berdatanganlah ilmuwan-ilmuwan lainnya dari segala penjuru dunia. Awalnya menyenangkan, aku diperhatikan oleh semua orang. Aku menjadi terkenal. Namun hal itu hanya sesaat.
Orangtuaku tak mengijinkan para ilmuwan itu untuk membawaku pergi, namun mereka juga tak bisa menolak uang yang akan diberikan pada mereka jika mereka memberi izin untuk meneliti diriku. Para ilmuwan itu tak bisa membawaku pergi, jadi mereka membawa laboratorium mereka ke tempatku. Laboratiruim tercanggih yang pernah ada di dunia dibangun di samping rumahku. Aku menjadi bahan penelitian mereka selama 12 jam sehari, 6 hari seminggu.

Begitu aku menginjak umur 18 tahun aku diambil dari rumahku. Berdasarkan kontrak yang ditanda tangani oleh orangtuaku, apabila mereka mengijinkan para ilmuwan untuk membawaku saat aku berumur 18 tahun, maka uang yang mereka dapatkan akan digandakan. Kesimpulannya adalah aku tak lagi dianggap menjadi manusia, aku hanya sebuah benda aneh yang menjadi salah satu bagian dunia.

Lima tahun sudah aku berada di dalam gedung laboratorium ini. Semua kebutuhanku terpenuhi, makanan terlezat dengan bahan-bahan kualitas paling tinggi, pakaianku dijahitkan langsung oleh perancang busana terkenal, banyak dari mereka mengucapkan bahwa mereka terinspirasi oleh diriku untuk membuat rancangan-rancangan yang indah, sayang aku tak bisa melihat rancangan mereka secara langsung. Aku tak diizinkan keluar dari gedung laboratorium ini.

Aku mulai merasa diriku bukanlah manusia, namun mahluk aneh seperti apa yang mereka bilang. Aku sudah tak ingat siapa namaku. Bagi para ilmuwan aku adalah “Project Wings” – Proyek Sayap – Aku masih ingat orang tuaku memanggilku “Ade”, aku tak ingat apakah aku pernah mempunyai teman saat aku kecil, aku lupa sudah namaku.

Lima tahun lima bulan lima hari setelah aku masuk ke gedung ini. Segala macam percobaan telah dilakukan padaku. Kali ini aku mendengar mereka akan mencoba mengembang biakkan diriku. Dititik itulah aku tersadar, aku ini manusia. Aku masih berakal seperti manusia, aku masih bicara seperti manusia, dan aku masih berbicara seperti manusia. Aku bukanlah binatang ternak yang bisa mereka budi dayakan semena-mena. Dititik inilah aku berontak dan berusaha membebaskan diri.

Segala upaya aku keluarkan untuk membebaskan diri. Aku berusaha menghubungi orangtuaku, namun sepertinya mereka sudah tak ingin lagi mengenal putrinya. Mereka hanya mengatakan bahwa diriku lebih baik berada di dalam sini dari pada di luar, betapa banyak orang jahat yang akan mengambil keuntungan dari diriku.
Sebuah jalan buntu.

Aku mulai berusaha mengepakkan sayapku. Aku tak pernah mencoba sebelumnya, hanya membiarkan benda itu menggantung dari punggungku dan menyeretnya tanpa henti.

Aku bernegosiasi dengan para ilmuwan, namun jelas sekali mereka tak akan membiarkan mahluk aneh seperti diriku untuk kabur, aku adalah sumber pencaharian mereka. Aku mulai menggerakkan sayapku.

Aku berusaha kabur dengan paksa, melawan penjaga di depan pintu gedung hanya untuk ditangkap, diikat dan dikurung dalam kamar. Sayapku mulai mengepak perlahan.

Mereka mulai mempersiapkan diriku untuk kehamilan. Berbagai suntikan hormon, tes darah dan percobaan mereka lakukan padaku. Sayapku mengangkat diriku, kakiku tak lagi menyentuh tanah.

Deret demi deret foto pria dijajarkan dihadapanku. Aku diberi pilihan, memilih pria yang akan menghamiliku atau mereka akan memilihkannya untukku. Sayapku membawaku terbang di taman dalam.

Aku menentukan pilihanku, seorang pria berkebangsaan Amerika Serikat, lulusan universitas terkenal dengan jurusan Biologi. Tujuannya menjadi pemberi sprema untukku adalah ingin melihat apakah keturunanku akan mempunyai sayap atau kelebihan lain. Itu tak akan terjadi. Sayapku sudah siap.

Sayap putihku berkilau dengan indah diterpa matahari pagi. Aku berada di halaman luar, salah satu syarat yang kuberikan saat aku setuju untuk melakukan hal ini. Hari ini adalah hari terakhir aku akan melihat langit biru. Besok pria pemberi sperma akan datang dan akan men‘donasi’kan spermanya kepadaku. Aku tersenyum kecut bila teringat hal tersebut. Para ilmuwan akan mengurungku selama tujuh hari bersamanya. Salah satu ilmuwan berkata, “Untuk memastikan kau terbuahi dengan baik” sementara yang lain tertawa kotor mendengar ucapannya itu. Sudah cukup. Waktunya sudah tiba.

Aku kepakkan sayapku dengan perlahan, aku berdoa pada siapapun yang mendengarkan. Aku ingin bebas, cukup sudah segala percobaan, tes dan hinaan yang aku terima di sini. Aku ingin kembali menjadi manusia, kembali mengenal diriku, aku tak lagi ingin sendiri. Sayapku membawaku terbang, naik semakin tinggi. Aku lewati pagar gedung. Riuh rendah para penjaga dan ilmuwan dibawahku terdengar semakin kecil. Mereka tak berani menembakku, mereka tak menyangka aku berani, mereka tak menduga aku bisa.

Ini saatnya aku membebaskan diri. Aku bebas, gembira, sedih semua bercamur aduk dalam diriku. Mungkin ini perasaan Icarus saat ia terbang dari labirin yang mengurungnya.

Aku terbang semakin tinggi, melewati awan, menembus langit. Aku jatuh.

Sayapku berhenti mengepak. Aku jatuh.

Bulu-bulu putih melayang disampingku, ditarik oleh gravitasi bumi. Aku jatuh.

Menghantam bumi dengan keras, bunyi tulangku yang remuk disertai oleh bulu-bulu putih yang berhamburan.

Aku jatuh, aku bebas.

Jakarta, 8 Maret 2011

And so it be - A fiction


She used men, just as men used her.

The night has been easy for her, not too cold not too warm, the johns are equally easy. She scored an easy $500 for the night, in views of her day job its small change. Yes, she has a day job, not a waitress kind of day job, but a sit-in-a-million-dollar-office-doing-million-dollar-project kind of job. So, why? I don't think even she can answer that question.

On another night she would be strolling the streets looking for preys among lust driven men, the other girls gave her a wide berth, they know not to mess with her. But tonight she had enough of the streets, the image of warm sheets, chilled wine and romance novel has been on her mind the entire evening, calling like a siren for her to come home early. With the image getting stronger she walked towards the alley where she parked her car. She didn't notice the shadow following her, getting closer and closer, grabbing her by surprised as she was about to open her car. "Going home, little whore?" Hoarse voice accompany the cold glint a knife resting silently on the base of her throat. She can't move, not before assessing who he really was. A wet lick of tongue on the side of her neck "You taste so damn good little whore" whiskey breath, foul and dirty makes her gagged. She started to feel annoyed, the man are still rambling behind her, calling her "Little whore", pawing her thigh and breasts with his free hand, while the other hand wielding the knife from side to side of her neck.

The man pushed her towards her car, trapped her between himself and the car door, still rambling. She lets out a bored sigh in between his ramblings, the man is just a mediocre psycho, not someone worthy of a torture. He won't stand even a minute with her. With that making up her mind, she elbowed her attacker stomach, surprising him, catching his wrist and with a simple flick stealing the knife from his grasp. Another well placed punched, the man sprawled beneath her feet. She straddled his chest, the knife glinting in the moonlight, the table has turned. No more lust can be find in his eyes, terror and cowardice is the only thing inside.
"You annoy me!" The man doesn't even have the chance to scream before the knife moves from side to side on his neck. Blood splattered on the streets, she took out a handkerchief from her purse, cleaned the knife handle and toss it. No need to be hasty and leave a finger print in this kind of situation. An annoyed sigh came from her before she enters the car, a blood spatter has landed on her pantyhose, that would be another hose down the drain. It's so hard to clean a blood stain. She gunned her car from the alley, the wine and novel became a more interesting past time for the night after all the excitement.

The body of a man found with a neck wound the next day, the knife on his side presumed as the murder weapon. The police is still looking for the perpetrator. But beneath all of the official looking investigation, the girls on the street feel a little safer without him around. Maybe they will give her a thank you nod, the next time they see her.

Jakarta, 2011-01-07